HITAM PUTIH

HITAM PUTIH

Jumat, 08 Oktober 2010

kemerdekaan menyampaikan pikiran, baik secara lisan maupun tulisan.


Negara demokrasi adalah negara yang mengikutsertakan partisipasi rakyat dalam pemerintahan serta menjamin terpenuhinya hak dasar rakyat dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara. Salah satu hak dasar rakyat yang harus dijamin adalah kemerdekaan menyampaikan pikiran, baik secara lisan maupun tulisan.
Pers adalah salah satu sarana bagi warga negara untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat serta memiliki peranan penting dalam negara demokrasi. Pers yang bebas dan bertanggung jawab memegang peranan penting dalam masyarakat demokratis dan merupakan salah satu unsur bagi negara dan pemerintahan yang demokratis. Menurut Miriam Budiardjo, bahwa salah satu ciri negara demokrasi adalah memiliki pers yang bebas dan bertanggung jawab.
Sedangkan, Inti dari demokrasi adalah adanya kesempatan bagi aspirasi dan suara rakyat (individu) dalam mempengaruhi sebuah keputusan.Dalam Demokrasi juga diperlukan partisipasi rakyat, yang muncul dari kesadaran politik untuk ikut terlibat dan andil dalam sistem pemerintahan.Pada berbagai aspek kehidupan di negara ini, sejatinya masyarakat memiliki hak untuk ikut serta dalam menentukan langkah kebijakan suatu Negara.
pers merupakan  pilar demokrasi keempat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. pers sebagai kontrol atas ketiga pilar itu dan melandasi kinerjanya dengan check and balance. untuk dapat melakukan peranannya perlu dijunjung kebebasan pers dalam menyampaikan informasi publik secara jujur dan berimbang. disamping itu pula untuk menegakkan pilar keempat ini, pers juga harus bebas dari kapitalisme dan  politik. pers yang tidak sekedar mendukung kepentingan pemilik modal dan melanggengkan kekuasaan politik tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat yang lebih besar.
kemungkinan kebebasan lembaga pers yang terkapitasi oleh kepentingan kapitalisme dan politik tersebut, mendorong semangat lahirnya citizen journalism. istilah citizen journalism untuk menjelaskan kegiatan pemrosesan dan penyajian berita oleh warga masyarakat bukan jurnalis profesional. aktivitas jurnalisme yang dilakukan oleh warga sebagai wujud aspirasi dan penyampaian pendapat rakyat inilah yang menjadi latar belakang bahwa citizen journalism sebagai bagian dari pers merupakan sarana untuk mencapai suatu demokrasi.
Wajah demokrasi sendiri terlihat pada dua sisi. Pertama, demokrasi sebagai realitas kehidupan sehari-hari, kedua, demokrasi  sebagaimana ia dicitrakan oleh media informasi. Di satu sisi ada  citra, di sisi lain ada realitas. Antara keduanya sangat mungkin terjadi pembauran, atau malah keterputusan hubungan. Ironisnya yang terjadi sekarang justru terputusnya hubungan antara citra dan realitas demokrasi itu sendiri. Istilah yang tepat digunakan adalah simulakrum demokrasi, yaitu kondisi yang seolah-olah demokrasi padahal sebagai citra ia telah mengalami deviasi, distorsi, dan bahkan terputus dari realitas yang sesungguhnya. Distorsi ini biasanya terjadi melalui citraan-citraan sistematis oleh media massa. Demokrasi bukan lagi realitas yang sebenarnya, ia adalah kuasa dari pemilik informasi dan penguasa opini publik.
Proses demokratisasi disebuah negara tidak hanya mengandalkan parlemen, tapi juga ada media massa, yang mana merupakan sarana komunikasi baik pemerintah dengan rakyat, maupun rakyat dengan rakyat. Keberadaan media massa ini, baik dalam kategori cetak maupun elektronik memiliki cakupan yang bermacam-macam, baik dalam hal isu maupun daya jangkau sirkulasi ataupun siaran.


Akses informasi melalui media massa ini sejalan dengan asas demokrasi, dimana adanya tranformasi secara menyeluruh dan terbuka yang mutlak bagi negara yang menganut paham demokrasi, sehingga ada persebaran informasi yang merata. Namun, pada pelaksanaannya, banyak faktor yang menghambat proses komunikasi ini, terutama disebabkan oleh keterbatasan media massa dalam menjangkau lokasi-lokasi pedalaman.
Keberadaan radio komunitas adalah salah satu jawaban dari pencarian solusi akan permasalahan penyebaran akses dan sarana komunikasi yang menjadi perkerjaan media massa umum. Pada perkembangannya radio komunitas telah banyak membuktikan peran pentingnya di tengah persoalan pelik akan akses informasi dan komunikasi juga dalam peran sebagai kontrol sosial dan menjalankan empat fungsi pers lainnya.

Posisi Media Dalam Bingkai Good Governance

Secara umum, yang dimaksud dengan good governance adalah tata pemerintahan yang baik, yang mensyaratkan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. Di dalam konteks ini, negara (baca: pemerintah) menempatkan diri sebagai posisi kunci namun tidak mendominasi, yang hanya berkapasitas mengkordinasi aktor-aktor pada institusi semi dan non-pemerintah. Sedangkan media massa (baca: media) sebagai salah satu aktor tersebut menjadi penting jika diposisikan sebagai salah satu pendorong terwujudnya good governance tersebut. Media sebagai salah satu sumber informasi publik diharapkan bisa menjadi alat untuk mendorong berjalannya ketiga prinsip good governance ini. Harus diakui, melalui media lah , serangkaian peristiwa, opini, dan realitas dapat disajikan dalam bentuk informasi kepada masyarakat.
Dengan menyajikan berita-berita aktual dari berbagai isu yang berkaitan dengan praktek-praktek korupsi, hukum, politik dan seterusnya, menunjukkan bahwa sesungguhnya media memiliki kontribusi yang esensial dalam mendukung proses pembangunan demokrasi. Terlebih, saat ini kita sedang berada dalam masa transisi demokrasi yang salah satu jalannya melalui pembaruan tata pemerintahan. Karenanya, inilah saat yang tepat bagi media massa untuk mendukung proses pembaruan tata pemerintahan yang baik melalui berita-berita informatif, cerdas, kritis, dan bertanggung jawab.
Dalam konteks kekinian, peran media massa dituntut untuk mampu mengangkat berbagai berita korupsi di berbagai level pemerintahan secara objektif. Terlebih Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) menyatakan bahwa saat ini korupsi adalah musuh terbesar Indonesia selain terorisme. Jadi, sebenarnya tidak ada alasan bagi media untuk tidak mendukung pemberantasan korupsi di tanah air melalui pengungkapan dan liputan kasus-kasus korupsi.
Misalnya untuk peliputan kasus korupsi, peran media sangat relevan dengan apa yang tertuang dalam Undang-undang Pers 40/1999. Dalam pasal 6 Undang-undang ini disebutkan bahwa media harus bisa menjalankan fungsi kontrol perilaku, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang menjadi keprihatinan publik. Maka, sesuai dengan amanah UU Pers, korupsi dan berbagai bentuk penyimpangan lainnya sudah seharusnya menjadi bidikan media massa.
Di sisi lain, media juga dituntut memberikan pemberitaan yang akurat, independen, dan kritis. Tiga unsur pemberitaan ini sesuai dengan prinsip transparansi yang merupakan salah satu konsep good governace . Sehingga jika tiga hal ini terpenuhi, maka tidak bisa diragukan bahwa media memberikan kontribusi yang signifikan menyongsong pembaruan tata pemerintahan yang baik.
Namun sayangnya, masih banyak media yang belum sepenuhnya independen dan objektif dari kepentingan tertentu (contoh: pemiliknya). Banyak pemberitaan dalam media yang tidak objektif dan hanya menguntungkan segelintir kelompok saja. Sehingga berita yang disajikannya tidak lagi jernih. Seringkali media justru dipakai sebagai alat pembenaran atas suatu kasus tertentu. Inilah yang bisa mengakibatkan terjadinya salah pengertian dalam masyarakat pembacanya. Sebab pembaca adalah merupakan konsumen yang menikmati hasil produksi industri media secara langsung. Sedangkan media, bukan hanya bisa berperan sebagai pemberi informasi, tetapi sebaliknya media juga bisa melakukan hal-hal yang bersifat provokasi dan mempengaruhi opini pembacanya. Jika hal ini terjadi, akan menjadi batu sandungan proses demokrasi.
Lantas, apakah peran media dan masyarakat ini saja sudah cukup sebagai motor menuju pembaruan tata pemerintahan yang baik? Jawabnya adalah belum. Selain hal di atas, dibutuhkan respon yang baik dari pemerintah. Sesuai dengan prinsip transparansi, pemerintah harus memberikan akses informasi yang luas kepada media untuk mendapatkan semua informasi yang berkaitan dengan kebijakan publik. Akses yang dimaksud tentu saja bukan hanya sebatas ijin untuk meliput berbagai kegiatan dan aktivitas pemerintah. Namun lebih dari itu, pemerintah harus menjamin kebebasan pers dalam arti yang sebenarnya melalui payung hukum yang jelas.
Belajar dari beberapa kasus pencemaran nama baik yang dilayangkan kepada media, rasanya sudah seharusnya pemerintah memperhatikan dan menyimak sekali lagi serta menegakkan butir-butir yang tertera dalam UU Pers 40/1999.
Selama belum ada payung hukum yang jelas, maka kebebasan pers tidak akan terjamin. Dan selama tidak ada kebebasan pers, maka akses informasi akan banyak mengalami hambatan. Jika ini terjadi, maka cita-cita untuk menggapai pemerintahan yang baik dan demokratis tinggal angan.
Akses informasi, kebebasan pers, dan payung hukum beserta penegakannya merupakan mata rantai yang tidak boleh terputus dalam mendukung proses pembentukan good governance dan pemerintahan yang demokratis.
Ajianto NugrohoComunications/Media Asistant dari Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia


Pilar Demokrasi Keempat

Pers diakui sebagai pilar demokrasi keempat. Jimly As-Shiddiqie mantan Ketua Mahkamah Konstitusi menyatakan pers memiliki posisi yang setara dan seimbang dengan  kekuasaan eksekutif (presiden dan menterinya), yudikatif (MA dan jajarannya) dan legislatif (DPR atau MPR).

Bahkan, Rektor Rektor Universitas Udayana Denpasar I Made Bakta menyebut pers merupakan keniscayaan di era demokrasi. “Demokrasi akan berkembang dengan baik jika pers sebagai salah satu pilar demokrasi juga berkembang dengan baik”. ungkapnya. Akan tetapi, faktanya di era demokratisasi saat ini kebebasan berekpresi melalui pers tidak selamanya mulus. Kenyataan di lapangan banyak masyarakat yang mengalami kekerasan karena “unjuk gigi” melalui pers atau media massa.

Kasus pembunuhan Udin wartawan Bernas Jogjakarta kiranya bisa membuka mata pelaku pers ternyata tidak dihargai malahan dibunuh.  Kasus aktual misalnya pemenjaraan Prita Mulyasari karena mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional melalui email internet baru-baru ini adalah salah satu contohnya.  Prita Mulyasari dihukum percobaan selama 20 hari. Pada hal, ia hanya mengeluarkan keluh kesah atau curhat pribadi kepada teman-temanya melalui email. Ini adalah salah satu contoh betapa kebebasan berekspresi justru menjadi boomerang, khususnya bagi masyarakat kecil.

Kasus lainnya bisa kita lihat misalnya, pemanggilan dua pimpinan media massa Kompas dan Seputar Indonesia karena memuat rekaman pembicaraan Anggoda Widjojo dalam kasus scenario kriminalisasi KPK (Kompas, 30 Oktober 2009). Kasus ini jelas sebuah pelecehan dan penodaan terhadap iklim kebebasan pers yang didengungkan selama ini.

Dalam hal ini menarik ungkapan Benyamin Constant (1767-1834), 'Dengan surat kabar, kadang-kadang muncul kericuhan, tapi tanpa surat kabar akan selalu muncul penindasan'.  Artinya, kekebasan pers betapapun kondisinya penting untuk membangun demokrasi. Pasalnya, pers seperti yang dikatakan Duncan McCargo (2001) setidaknya memiliki tiga peran (mode of egencies): agent of development (agen pembangunan), agent of change (agen perubahan), dan agent of restraint (fungsi watchdog; anjing penjaga).

Maka dari itu, kekebasan pers harus terus dijaga. Kebebasan pers jangan sampai dibungkam,dibredel dan diberangus. Pers harus ditegakkan setinggi-tingginya. Para pemimpin harus memiliki politicall will untuk senantiasa memberi ruang kebebasan bagi pers atau media massa dalam berkreasi dan berekpresi. Namun, kalangan pers sendiri hendaknya memiliki kontrol diri (self control) yang baik agar tidak kebablasan.

Memang, kekebasan berekpresi merupakan hak asasi yang dijamin undang-undang, akan tetapi hendaknya pelaku media tetap mengindahkan tata etika, moral dan norma-norma yang dijunjung tinggi di masyarakat.  Jangan sampai karena iklim kebebasan lantas menjadi euphoria yang kadang-kadang meresahkan masyarakat. Pers harus sesuai dengan misinya untuk memberikan pencerdasan dan pencerahan bagi masyarakat. ***


Setiap 9 Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional. Momentum ini dimaksudkan untuk mengabarkan kepada publik bahwa pers adalah salah satu unsur penting dalam membangun demokrasi yang berkualitas. Di era keterbukaan ini, pers memiliki posisi yang strategis untuk meneguhkan masyarakat sipil (civil society) yang berkeadilan dan berkeadaban.

UU No. 40 tahun 1999 tentang pers pasal 2 dijelaskan bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat. Artinya, pers merupakan institusi penting untuk mengawal demokrasi. Demokrasi yang berkualitas ditopang dengan adanya jaminan kebebasan pers. Kebebasan pers yang dimaksud bukan kebebasan tanpa aturan. Akan tetapi, pers yang menjunjung tinggi etika dan berlandaskan hati nurani atau rasa keadilan masyarakat.

Namun, sejarah mencatat, pers atau media massa tidak selamanya mendapatkan ruang kebebasan. Pers justru mengalami pembredelan atau pembrangusan. Di Era orde baru sejumlah pers atau media massa dibungkam,dibredel, dan dilarang terbit oleh penguasa.  Tepatnya pada 15 Januari 1974, karena kritikannya yang tajam kepada pemerintah, sejumlah pers dibredel semisal Harian Indonesia Raya, Harian Nusantara, Harian KAMI, Abadi, The Jakarta Times, Pedoman, Mingguan Wenang, Pemuda Indonesia, serta Mingguan Berita Ekpress, yang semuanya terbit di Jakarta, juga Harian Suluh di Surabaya, Mingguan Mahasiswa Indonesia di Bandung dan Mingguan Indonesia Pos di Ujung Pandang (Ignatius Haryanto, Indonesia Raya dibredel; 2007).

Nasib naas juga dialami majalah Tempo. Pada edisi 13 Maret 1982 majalah Tempo dibredel karena memuat artikel yang menentang penguasa. Pembredelan dilanjutkan pada Majalah Tempo pada bulan Juni 1994 karena memuat berita tentang pembelian kapal perang bekas Jerman oleh pemerintah yang dinilai mencemarkan nama baik penguasa.

Pemberedelan pers merupakan bukti pelanggaran hak asasi manusia dalam mengeluarkan kebebasan berekspresi lewat tulisan atau pikiran atau pendapat. Kebebasan pers bagian dari pengakuan hak asasi manusia meliputi bebas untuk mengeluarkan pikiran (Freedom Of Speech), bebas dari penindasan(Freedom From Opression) dan bebas untuk mengejar atau memperoleh kebahagiaan hidup(Freedom To Puisuit Happiness).

Pada hal, secara ekplisit undang-undang telah memberikan jaminan kebebasan untuk berekpresi melalui pers. Pasal 28 UUD 1945 dinyatakan ”kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang ”. Lebih spesifiknya dalam pasal 28 F disebutkan, ”setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia “




DAFTAR PUSTAKA

Ø  Oktober 13, 2007 HARIAN Jurnal Nasional yang terbit di Jakarta,
Ø  Hari Pers Nasional 9 Februari 2010


2 komentar:

  1. Top BGT deh!
    two thumb Up, terus lanjutkan berkarya dan gali kemampuan menulis yang kamu miliki.

    Selamat berkarya dan berimajinasi.

    yoyoh

    BalasHapus